Sumbawa, NuansaNTB.id- Masih ingat N (17)? anak dengan disabilitas mental di salah satu kecamatan bagian barat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terpaksa berhenti sekolah saat pandemi Covid 19 di SLB karena orangtuanya tidak mampu membayar akomodasi pulang pergi dari sekolah ke rumahnya.
Ada juga siswa dengan disabilitas sebut saja D (9) di Kecamatan Orong Telu, Sumbawa yang bersekolah di SD biasa namun gurunya menghadapi tantangan karena sang murid tertinggal jauh dari teman-temannya yang lain.
Menjawab tantangan ini, sudah saatnya Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat menerapkan sekolah inklusi, agar semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang berkualitas.
Hal ini dibahas dalam sosialisasi tahapan teknis uji coba tahap II dasboard Pendidikan Inklusi (PI) dan pelatihan instrumen identifikasi kesulitan fungsional belajar bagi 75 pengawas SD/MI dan SMP/MTS, Senin (21/03/2022) di aula SMPN 1 Sumbawa.
Kabid Pembinaan SD Dikbud Sumbawa Husnul Alwan mengatakan, selama ini di tingkat kabupaten, belum ada database berapa anak yang membutuhkan layanan inklusi.
Hal itu karena kewenangannya berada di Sekolah Luar Biasa (SLB) yakni di provinsi, sehingga penanganan anak-anak dengan disabilitas hanya menjadi urusan provinsi.
Ia menyebutkan, pendataan anak berkebutuhan khusus ini sebenarnya ingin dilakukan sampai tingkat desa, namun pada diskusi bersama INOVASI NTB ternyata berkembang dimana semua jenjang pendidikan harus mengisi dasboar pendidikan inklusi tersebut.
Dalam perkembangan pada tahun 2012 sambungnya, sudah ada regulasi tentang sekolah inklusi, tetapi pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan.
“Belum ada pelatihan guru tentang pendidikan inklusi serta belum ada data anak berkebutuhan khusus,” ini yang menjadi tantangan yang berdampak pada tidak terlayaninya pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan baik.
Oleh sebab itu, pelatihan hari ini agar lebih mudah mengidentifikasi anak-anak dengan disabilitas.
“Pendataan oleh pihak sekolah diharapkan didampingi oleh bapak/ibu pengawas,” ujarnya.
Ia memaparkan, ada banyak anak di desa terutama penyandang disabilitas tidak terlayani di SLB, karena banyak faktor terutama jaraknya jauh dan orangtua tidak mampu serta jumlah SLB yang terbatas.
Seperti saat kunjungan ke salah satu sekolah di Kecamatan Orong Telu kemarin bersama Kadis Dikbud ada fakta yang mengiris hati.
“Kami melihat ada anak berkebutuhan khusus tapi belajar di SD biasa. Sementara gurunya belum memiliki kapasitas untuk mengajar anak dengan kebutuhan khusus,” sebenarnya ada regulasi yang mengatur bahwa kewenangan pendidikan bagi anak disabilitas tidak hanya urusan provinsi tapi juga kewenangan kabupaten.
Semoga pendataan anak-anak yang berkebutuhan khusus melalui survey secara serentak ini dapat menjadi langkah awal untuk formulasi kebijakan selanjutnya.
“Kita perlu big data kaitan dengan anak berkebutuhan khusus ini di kabupaten Sumbawa, semoga pelatihan ini bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama,” pungkas Alwan.
Sementara itu, Kepala Kemenag Syamsun Ilyas saat membuka acara ini mengucapkan rasa syukur dan berterima kasih dapat bersilaturahmi dengan bapak/ibu pengawas yang telah berjuang selama ini.
Dalam kesempatan yang sama, Fasda Pembelajaran INOVASI sekaligus Korwil Pengawas Kecamatan Moyo Hulu Sutarman SPd menyampaikan dukungannya dalam pendataan anak berkebutuhan khusus di lapangan.
Menurutnya, aplikasi dan pendataan dasboard pendidikan inklusi ini akan sangat membantu di lapangan.
“Persoalan anak berkebutuhan khusus seringkali menjadi tantangan guru dalam proses pembelajaran dimana mereka tidak bisa mengatasi sendiri,” tentu adanya data ini nanti akan menjadi dasar untuk mencari solusi kebijakan kedepan baik bagi Dikbud maupun Kemenag.
Selanjutnya, Korwil Pengawas Kecamatan Moyo Hilir Zul Hayat SPd juga menyatakan dukungannya untuk mensukseskan pendataan dasboard pendidikan inklusi.
Ia mengatakan, ketika turun ke lapangan banyak yang mengeluhkan bagaimana penanganan anak berkebutuhan khusus.
“Saya sangat mendukung pendataan ini, semoga saat kami turun ke sekolah, meraka sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam identifikasi kesulitan fungsional bagi anak berkebutun khusus,” perlu juga dikomunikasikan dengan oleh Dikbud seperti apa model pembelajaran dan kurikulum khusus agar tidak disamakan dengan peserta didik yang normal.
Sementara itu, Aminah MPd Korwil dan Pengawas di Kecamatan Utan mengatakan instrumen ini sangat membantu guru dan kepala sekolah di lapangan.
“Pengalaman saya ketika jadi kepala sekolah dulu, anak dengan kebutuhan khusus ini menjadi tantangan guru karena mereka tertinggal dalam pembelajaran. Dibagian akhir instrumen ini ada solusi yang dapat dilakukan guru di sekolah terhadap anak dengan kebutuhan khusus ini meskipun tidak sekompleks penanganan di SLB. (Nuansa/**)