Sumbawa Besar, NuansaNTB.id- Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prof. Dr. Muzakkir SH., M.Hum. Pakar pidana berkelas nasional ini menegaskan bahwa mengelola Sumber Elektronik oleh terdakwa bukan perbuatan tindak pidana penggelapan, karena dilakukan untuk melanjutkan operasional perusahaan. Pengelolaan ini dilakukan terdakwa bersifat sementara karena dalam kondisi darurat.
“Terdakwa selaku ahli waris punya kedudukan yang sah untuk mengganti peran almarhum. Operasional perusahaan tidak boleh mangkrak, karena ada kewajiban hukum yang terjadi sehubungan dengan meninggalnya salah satu anggota dari korporasi (Sumber Elektronik) bersangkutan.
“Legalitas terdakwa Lusi sah sebagai wakil dari komanditer yang meninggal, pengelolaannya hanya bersifat sementara sampai ditunjuknya pengurus baru. Artinya, melaksanakan korporasi untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak ketiga, bukan termasuk penggelapan. Justru kalau mendiamkan atau membuat perusahaan vakum sementara ada kewajiban, itu justru yang tidak benar,” ujarnya.
Dijelaskannya, syarat utama untuk melihat ada niat jahat terdakwa adalah dengan dilakukan audit investigasi. Untuk melakukan audit ini harus memilih auditor disepakati oleh seluruh korporasi melalui rapat grup. Hasil rapat sepakat menunjuk akuntan publik yang independen. Untuk audit ini juga harus disepakati obyek yang diaudit. Bukan dari sepihak, seperti yang dilakukan auditor (Khairunnas) yang melakukan audit terhadap obyek atas pesanan salah satu pihak.
“Kalau audit dilakukan sepihak, menjadikan penunjukan auditor, mengambil obyek bahan audit, dan produk audit dinyatakan tidak sah. Sehingga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang pimer untuk tindak pidana ini. Apalagi audit terhadap obyek untuk rentang waktu 2015-2021, yang bukan masa terdakwa dalam mengelola Sumber Elektronik, melainkan dikelola almarhum. Kalau untuk kepentingan pembagian harta gono gini, ini bisa dilakukan karena auditnya harus menyeluruh. Tapi kalau untuk membuktikan tindak pidana penggelapan harusnya dilakukan audit selama terdakwa mengelola. Tentunya orang yang tidak berbuat tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk perbuatan perbuatan yang dilakukan orang lain,” tandasnya.
Menjawab pertanyaan bahwa dalam kasus yang menjerat Nyonya Lusi ini mana yang didahulukan proses pidana atau proses perdata mengingat saat ini gugatan perdata tengah berproses dan di tingkat pertama dan banding, hasilnya NO (Ontvankelijke Verklaard), atau gugatan (Ang San San) tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
Menurut Prof Muzakkir, harusnya JPU menghentikan penuntutan pidananya terlebih dahulu jika terjadinya perselisihan pra yudisial (gugatan perdata) mengingat obyek dugaan penggelapan masuk dalam proses perdata.
“Proses pidana terhadap terdakwa (Lusy) harus dihentikan terlebih dahulu menunggu proses perdata hingga memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sebab putusan ini akan menjadi alat bukti dalam proses penyidikan tindak pidananya. Artinya yang diutamakan adalah proses perdatanya,” imbuhnya.
Kemudian pertanyaan soal locus dan tempos. Bahwa laporan kasus dugaan tindak pidana penggelapan yang menjerat terdakwa dilaporkan pada tanggal 10 Mei 2021, sedangkan perbuatan terdakwa dengan mengelola Sumber Elektronik dilakukan pada tahun 2022. Atau laporan dilayangkan ketika peristiwa hukum belum terjadi.
Prof Muzakkir menegaskan bahwa hukum tidak boleh berlaku surut. Peristiwa yang diproses adalah peristiwa masa lalu bukan peristiwa akan datang. Artinya ini proses hukum ini tidak berlaku bagi Nyonya Lusi sebagaimana Asas Non Retoratif.
“Konsekwensi hukumnya adalah laporan tersebut tidak boleh diarahkan kepada seseorang yang menjadi terdakwa. Terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan karena tidak masuk dalam lingkup laporan yang disampaikan terlapor,” demikian Prof Muzakkir. (*)